Partner | KAENDRA Tour & MICE

Senin, 06 Februari 2012

MENCIPTAKAN MASYARAKAT YANG ADIL DAN MAKMUR



                Berbicara tentang masyarakat, tentu tidak akan terlepas dari kumpulan individu, dengan segala macam karakter yang ada didalam masing-masing individu itu sendiri. Termasuk didalamnya berbicara tentang mata pencarian, dan pendidikan, agama yang dianutnya, untuk mencapai tujuan bersama didalam memenuhi harkat serta kehidupan yang tentram dan damai. Jika ada salah satu unsur yang tidak terpenuhi didalam anggota masyarakat tersebut, lambat laun akan menimbulkan riak-riak didalam ikatan bermasyarakat, serta akan mengganggu anggota masyarakat yang lain, yang akhirnya, rasa aman dan tentram tidak akan pernah dicapai. Sehingga, apabila keadaan tersebut berkesinambungan, akan mengganggu pula pada pemenuhan harkat kehidupannya, yang makin lama akan menimbulkan ketimpangan terhadap ikatan sosial masyarakat itu sendiri.

                Seluruh makhluk Tuhan termasuk manusia, mempunyai naluri untuk membentuk suatu kelompok sosial yang dikatakan masyarakat. Adanya perbedaan karakter, mata pencarian, pendidikan, agama dan budaya, sudah barang tentu akan menimbulkan suatu gesekan-gesekan, apabila pemenuhan kehendak, dan tujuan masing-masing orang didalam anggota masyarakat itu terganggu. Disinilah akhirnya masing-masing individu memerlukan seorang pemimpin. Seseorang yang bisa memahami apa kehendak mereka, serta apa skala prioritas yang akan dilakukan, terhadap pemenuhan harkat dan kehidupan masyarakat itu. 


Seorang pemimpin harus benar-benar arif dan bijaksana, didalam mengambil keputusan, sehingga tidak menimbulkan guncangan, sebagai akibat dari keputusan yang diambil hanya demi segolongan tertentu. Dan menjadi seorang pemimpin, tidak semudah membalikkan telapak tangan, serta tidak dalam waktu yang singkat, apalagi jika menjadi seorang pemimpin negara dan bangsa. Bahkan, seharusnya tidak perlu mengajukan, atau menawarkan dirinya sebagai pemimpin. Melainkan, harus masyarakat itu sendiri yang berniat untuk memilihnya. Ini memang membutuhkan waktu yang lama. Tetapi jika dilakukannya hanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, tentu beaya yang dikeluarkan akan sangat banyak. Baik yang dikeluarkan oleh dirinya sendiri, maupun orang-orang yang membeayai. Sehingga, setelah terpilih, akan berusaha untuk mengganti beaya yang diberikan orang padanya. Lalu bagaimana mungkin ada kesempatan untuk berpikir apa yang harus dilakukan, sebelum hutang dan janjinya lunas? Yang sering terjadi, seluruh rencana yang telah dibuat sebelum menjadi pemimpin bisa kacau balau. Akhirnya mereka tidak mengerti apa yang harus dilakukan, selain hanya lewat perkiraan dan asumsi, bagaikan permainan tebak-tebakan belaka. Akibatnya, segala keputusan yang diambil sebagian besar justru akan semakin menyengsarakan masyarakat yang dipimpin. Ironisnya, jika keadaan setelah dipimpin malah lebih jelek dibandingkan sebelum ada pemimpin.


 Kriteria memilih pemimpin yang benar adalah sebagai berikut :  
  1. Untuk memilih pemimpin yang benar, hendaknya dimulai dari keluarga, bisakah dia menjadi pemimpin keluarga serta menyejahterakan keluarganya, melindungi serta menimbulkan rasa aman, tentram dan damai bagi keluarganya? Lalu bagaimana karakter pemimpin itu bagi keluarganya? Sebab, sejak dipilihnya seseorang untuk diajak membangun sebuah keluarga, tentu mempunyai harapan untuk membangun rumah tangga yang bahagia; 
  2. Jika ternyata didalam membangun rumah tangganya bisa menjadikan suri tauladan bagi seluruh anggota rumah tangganya, maka dia sudah pantas menjadi suri tauladan bagi rumah tangga yang lain;    Jika dia merupakan contoh yang baik, bahkan yang terbaik dari tetangga sekitar, serta bisa menimbulkan kerukunan bagi tetangga, dia pantas dipilih menjadi ketua rukun tetangga. Tugas dia sebagai pemimpin digugus kecil yakni ketua Rukun tetangga(RT), harus bisa membina, dan mengarahkan para anggotanya untuk bisa pula membina rumah tangga masing-masing seperti dirinya. Yang terpenting, dia harus pula memikirkan bagaimana bisa menyejahterakan anggota dalam rukun tetangga itu. Jika tidak, berarti dia gagal sebagai ketua;   
  3. Jika dibawah kepemimpinannya, anggota didalam rukun tetangga itu maju pesat dan masing-masing rumah tangganya sejahtera, dia sudah pantas untuk diajukan menjadi ketua Rukun wilayah(RW), bersama orang-orang yang terbaik di lingkungan Rukun Tetangga(RT) lainnya; 
  4. Begitu pula seterusnya, sampai pada tingkatan di desa dan kelurahan, kecamatan, kabupaten/kotamadya,  dan propinsi, sampai akhirnya menjadi seorang pemimpin negara.
Begitu juga halnya dengan pimpinan partai politik yang ada disuatu negara, harus pula mengikuti kriteria pimpinan, sebagaimana yang saya sebutkan pada no 1 sampai no 4 diatas. Jika dia menjadi pimpinan partai di ranting bawah, dia harus bisa menyejahterakan para anggotanya. Dan bukan berarti dia memberikan atau membagikan harta kekayaannya kepada mereka. Melainkan, harus memiliki ide-ide. Disamping dia menjalankan serta melaksanakan garis-garis partai yang ada diatasnya, dia juga berkewajiban, untuk membuat seluruh anggotanya bisa hidup layak. Sehingga bisa memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarganya. Dengan demikian, para anggota partai tersebut akan selalu membela pimpinannya, serta tidak akan menjadi kutu loncat dan pindah ke partai lain. Begitu pula seterusnya berjenjang, terhadap pemimpin partai yang diatasnya, sampai menjadi pemimpin puncak suatu partai.

Jika seseorang sudah terpilih, menjadi pemimpin puncak suatu partai politik di pusat pemerintahan, mereka wajib memikirkan anggotanya terlebih dahulu di seluruh tanah air, apakah mereka sudah sejahtera? Adakah ide-ide yang akan dilaksanakan untuk diterapkan kepada seluruh anggota partai tersebut? Dan karena cakupannya luas, tidak ada salahnya untuk bekerja sama dengan partai lain, yang saling menguntungkan bagi partainya masing-masing.

Selanjutnya, jika seseorang pemimpin puncak suatu partai, dipilih untuk menjadi pemimpin suatu negara, maka seluruh atribut partai yang pernah disandangnya harus sudah dilepaskan. Seluruh kenangan, baik suka dan duka, serta garis-garis partai asalnya, harus ditanggalkan. Dia sudah harus berdiri diatas seluruh partai, diseluruh golongan sosial masyarakat luas, tanpa memihak pada golongan sosial masyarakat tertentu. Apapun latar belakangnya, mayoritas maupun minoritas, dia harus bisa melindungi semuanya demi kepentingan bangsa dan negara.

        Adapun partai politik yang dulunya mengajukan dirinya menjadi pemimpin bangsa, harus ikut bertanggung jawab didalam menjaga kewibawaan, serta kokohnya persatuan, perdamaian, kententraman dan keamanan diseluruh tanah air. Seluruh anggota partainya sampai ke perkampungan, harus ikut mengawasi jalannya pemerintahan, terhadap penyimpangan yang mungkin ada. Sehingga jalannya roda pemerintahan, akan senantiasa berjalan seperti yang telah diikrarkan bersama.

Dengan adanya pemimpin partai politiknya terpilih, menjadi pemimpin suatu negara dan bangsa, mestinya secara otomatis, seluruh atribut partai pemenang pemilu, harus sudah ditanggalkan baik lahir maupun batin. Dan harus berganti menjadi anggota masyarakat besar, bersama anggota masyarakat yang lain tanpa memihak, dari partai mana, golongan apa, dan lain-lain. Dan harus sudah berganti atribut, yakni bangsa dan negara. 

Dengan begitu, mereka akan netral didalam mengawasi jalannya pemerintahan, sampai ke kampung serta desa. Sehingga, pembangunan masyarakat adil dan makmur akan tercapai dengan sendirinya. Jika netral, mereka akan tahu apa yang menjadi skala prioritas di desanya, di kecamatan, di kabupaten, di propinsi dimana mereka tinggal. Kemudian, bersama-sama dengan Dewan Pimpinan Daerah untuk mengembangkan daerahnya. Dan bukan lebih mendahulukan partai, serta golongannya sendiri. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan rasa iri, kemudian berakumulasi menjadi suatu kekuatan, untuk selalu membuat partai-partai baru, kalangan sosial baru. Sehingga makin lama makin banyak, menjadi sel-sel kecil yang semakin sulit untuk dikendalikan.

                Keadaan seperti inilah yang terjadi, disaat partai tertentu memenangkan pemilu, dan pemimpin partainya terpilih dan diangkat menjadi presiden, semuanya tidak melepaskan atribut partainya. Akan tetapi justru semakin menunjukkan kekuatan, bahwa negara ini adalah miliknya. Lalu untuk apa partainya itu dipilih, jika hanya untuk memenuhi harkat dan kehidupan dari kelompok partainya sendiri? Padahal sudah dipercaya untuk menjadi pemimpin bangsa, dari seluruh partai yang ada, dari seluruh golongan strata manapun, bahwa dia adalah pemimpin tertinggi didalam suatu negara. Jika keadaan ini terus menerus berlangsung, tidak heran jika golongan putih yang tidak terwakili, jumlahnya akan semakin banyak. Bahkan bisa terjadi jumlahnya akan melebihi dari para pemenang pemilu itu sendiri.

                Adapun, jika suatu ketika ada oknum dari partai manapun yang perbuatannya menyimpang dari aturan-aturan partai yang telah digariskan, sebelum para penegak hukum menangani, maka pemimpin partai itu sendiri yang harus memberikan sanksi. Serta harus tegas untuk menghukum sendiri, atau dipecat dari keanggotaan partainya. Agar tidak terjadi “nila setitik akan merusak susu satu belanga”. Seperti halnya pemimpin suatu keluarga dalam rumah tangga, jika tidak tegas, arif dan bijaksana, tentu tidak akan punya wibawa serta bisa dipatuhi oleh seluruh anggota keluarganya. Untuk apa menjadi pemimpin keluarga jika tidak dipatuhi, lebih baik bercerai, daripada keluarganya makin lama akan makin rusak.


                Kesimpulannya : Seorang pemimpin suatu negara tidak berbeda dengan pemimpin suatu keluarga, yang juga sama-sama memilik karakter dan keinginan yang berbeda. Akan tetapi dengan kearifan, kehati-hatian, serta kecerdasan, akan bisa memimpin keluarganya menuju kehidupan rumah tangga yang aman, tentram, dan sejahtera. Serta, bisa saling melindungi satu sama lain, menjadi suatu ikatan yang kokoh untuk menuju cita-cita awal membangun rumah tangganya. Dalam hal menjadi seorang pemimpin, tidak diperlukan kepandaian. Sebab dengan pandai, ada kecenderungan untuk menjadi ragu-ragu didalam mengambil keputusan. Karena, pada umumnya orang yang pandai akan banyak teori yang diambil, sehingga agak lambat untuk mengambil keputusan. Orang yang pandai, amat susah untuk arif dan bijaksana, karena seluruh teori yang dimiliki, adalah mengambil dari kumpulan teori orang lain yang nota bene  para pencipta teorinya itu sudah mati. 

Seorang pemimpin membutuhkan kejelian, dan kecerdasan dari pengalamannya sendiri, serta mengambil dari setiap fenomena yang terjadi, untuk dijadikan semiotika, kemudian berpikir untuk dijadikan hikmah dan makna bagi hatinya. Dan suatu saat bisa dipakai menjadi energi untuk mencipta, serta mengambil keputusan yang akan dilaksanakan bukan bagi kelompoknya, melainkan  bagi seluruh masyarakat dan bangsa.


Semoga bermanfaat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar