Partner | KAENDRA Tour & MICE

Jumat, 15 April 2011

EKOSISTEM MIKRO DAN MAKRO KOSMOS

Lanjutan :


Kita tahu, bahwa wujud kebaktian manusia pada Tuhan adalah sebagai “kholifah” minimal untuk dirinya sendiri. Untuk kebaikan, berdaya-guna, serta bermanfaat bagi dirinya serta lingkungannya. Namun bukan berarti menguasai, atau memerintah, apalagi lantas memaksa orang lain untuk memenuhi apa yang menjadi keinginannya. Akan tetapi memiliki arti;  bagaimana bisa men-serasi-kan ekosistem, antara manusia lahir dan manusia batin. Setelah keduanya bisa serasi, selaras dan seimbang, kemudian dipadukan dengan ekosistem yang ada diluar tubuh kita. Dan, tugas-tugas tersebut terwujud, serta terlaksana dengan baik, apabila selalu memperhatikan, menganalisa, serta perduli pada setiap saat. Adakah perobahan yang terjadi pada ekosistem tersebut? Sebab, setiap perobahan, pasti akan membawa sebab akibat, yang bisa membahayakan pada tata kehidupan manusia itu sendiri.  Selanjutnya,  untuk melihat adanya perobahan ekosistem didalam diri, hanya dengan memperhatikan perubahan  ekosistem yang ada diluar tubuh. Yakni : adanya  perubahan musim, perubahan cuaca, adanya penyakit, serta adanya perobahan yang terjadi pada alam flora, dan fauna. Begitu melihat diluar tubuh ada perobahan, ini menunjukkan bahwa, ekosistem yang ada didalam tubuh, pasti ada perobahan, atau ada masalah.Jadi, tugas manusia didalam berbakti kepada Tuhan, hanyalah 1 (satu ), yakni “MENJAGA EKOSISTEM” itu sendiri. Yakni, adanya satu lingkaran keseimbangan, yang saling ada keterkaitan, antara satu dengan yang lain, sebagaimana wujud asli saat diciptakan Tuhan.. 




Ekosistem ini, harus dirawat, dan dijaga. Karena, pada saat manusia menempati alam dunia, ekosistem mikro yang ada didalam diri manusia, telah disesuaikan dengan ekosistem makro diluar tubuh. Jadi, sudah sewajarnya kalau kita mempunyai satu kewajiban, untuk tetap menjaga keaslian ekosistem, sampai kita meninggal. Kenapa harus dijaga? Hal itu, karena dunia tempat kita hidup, telah tersusun secara seimbang. Dimana kita hidup, dan bernafas, maka disitu pulalah tersedia sarana-sarana kehidupan, dan penghidupan. Baik yang berupa makanan secara langsung, maupun tidak langsung. Dan, apabila terjadi perubahan akibat ulah manusia, maka akan terjadi pula perubahan yang mendasar, pada “jati diri” manusia. Baik terhadap sifat, kemauan, maupun kemampuan. Semua ini, karena adanya perubahan dari kehidupan semula, sebagai “aklimatisasi (penyesuaian), dari keadaan yang ekstrem dilingkungan sekitarnya. Hal ini, juga tidak berbeda jauh dengan Lautan sebagai tempat ikan, dan makhluk-makhluk air, Disitu, tersedia pula makanan-makanan yang disediakan secara langsung, tanpa harus diolah. Dimana makhluk itu hidup, maka disitu pula makanannya berada. Bila laut itu telah dirusak tempat kehidupannya, lewat pencemaran, dan lainnya, maka akan terjadi pula perobahan ekosistem. Apabila masih belum terlalu ekstrem, kemungkinan makhluk dalam air itu, masih bisa ber-aklimatisasi(mengadakan penyesuaian), yang sudah barang tentu, akan terjadi perubahan dari sifat asalnya. Bisa pula berubah bentuk, bisa berubah sifat, dan sebagainya. Namun, bila sudah terlalu ekstrem, sehingga tidak mampu lagi untuk menyesuaikan diri, tentu makhluk-makhluk tersebut akan mati.
Demikian juga halnya yang terjadi dengan alam manusia. Tidak berbeda jauh dengan lautan, sebagai alam ikan, yang bisa pula di-kategori-kan sebagai “Samudra maya”(lautan illusi). Bila lingkungan ekosistem dirusak, maka akan terjadi kelangkaan makanan, yang membuat makhluk itu hidup, serta meneruskan kehidupannya. Terjadinya perobahan sifat-sifat manusia, menjadi seperti binatang, semata-mata akibat dari rusaknya ekosistem. Sehingga, seperti makhluk dalam air, yang akan pula berusaha, untuk mengadakan penyesuaian diri, yang lambat laun, akhirnya juga akan punah.(kiamat). Seperti halnya binatang-binatang purba, dynosaurus, palaenthropus dan sebagainya. Kemungkinan besar, karena tempat kehidupan sebagai penyangga, atau penunjang kehidupannya telah punah. Adapun kenapa manusia tidak segera punah, dikarenakan manusia, sudah tercipta dalam keadaan sempurna. Dimana manusia mempunyai 4 nafsu, untuk mengisi energi, ditambah dengan akal pikiran, serta emosi.
Dan sebenarnya, adanya kesusahan, penderitaan, kebahagiaan, dan kemalangan, serta hal-hal lain yang terjadi pada diri manusia, semata-mata merupakan “pola”, menuju pada perobahan ekosistem didalam diri itu sendiri. Bila dibiarkan berlarut-larut, akan menimbulkan kerusakan permanen. Sehingga, sudah tidak bisa lagi mempergunakan segala perangkat, yang ada seperti semula. Untuk itu, kenapa didalam agama, dilarang untuk berbuat sesuatu yang melampaui batas. Ini dimaksudkan, agar manusia tidak boleh melampaui batas kesadaran, dan kehendaknya. Kesadaran dimaksud, adalah kesadaran untuk senantiasa membangun, memelihara, serta mempergunakan “Jati diri”, sebagai manusia. Kegembiraan yang melampaui batas, kesusahan, penderitaan, keinginan, dan sebagainya,  akan membuat nafsu lebih menonjol. Dan sudah bukan lagi manusia yang punya “jati diri”. Sehingga, batasan antara kodrat(kemampuan), kehendak (kemauan), sifat, dan tempat kehidupan, akan ikut pula terpengaruh. Karena, tempat untuk menampung sudah melampaui batas maksimum. Bila semula, selalu bisa mengatasi, terhadap masalah-masalah yang dihadapi, maka akhirnya sudah tidak lagi bisa berbuat apa-apa.
 Adanya banjir yang terus menerus setiap tahun. Juga, bencana-bencana yang menimpa, hanya sekedar  bisa kita terima begitu saja, tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan, semua panca indra, dan indra keenam, seperti sudah  tidak berfungsi lagi. Punya mata, tapi tidak bisa melihat, punya telinga, tidak bisa mendengar, punya mulut, tidak bisa bicara, punya tangan, tidak bisa memegang, dan, punya kaki tidak bisa berjalan. Pada prinsipnya, hidupnya akan selalu menyusahkan, serta selalu bergantung pada orang lain. Juga, akal dan pikiran, bahkan otak kanan sekalipun, sudah tidak bisa lagi  dipergunakan. Inilah yang dikatakan didalam kitab agama, bahwa Tuhan telah menutup pintu hati kita sebagai manusia. Keadaan ini, tentu akan berpengaruh pula, pada perobahan sifat pada anak cucu kita. Apabila kita punya keturunan, bisa menjadi cacat sejak dalam kandungan. Tidak mempunyai salah satu anggota tubuh, atau kelainan tubuh yang lain, karena membawa sifat dari orang tua, yang telah merobah ekosistem dari dalam dirinya.  Yang sedikit banyak, tentu akan pula mempengaruhi keadaan  calon anak. Untuk itu, kenapa para nenek moyang dahulu, selalu memberikan nasehat, agar disaat anak perempuan sedang hamil, jangan sekali-kali berbuat negatif, bahkan untuk membunuh tikus, dan ular-pun juga dilarang. Maksudnya adalah, agar tidak pula mempengaruhi pada anak yang akan dilahirkan.
Semua kelainan secara nyata ini, sering kita lihat berita di koran, majalah, maupun televisi. Bagi mereka yang punya sudut pandang agama, dikatakan orang tuanya penuh dosa, dan sedang menjalani hukuman dari hasil perbuatannya. Sedang bagi seorang ahli genetika, dikatakan; bahwa saat pembentukan gen bayi, memang sudah cacat sejak dari kandungan. Bagi saya,  justru mempunyai pandangan lain. Yakni, adanya kejadian itu, dikarenakan ekosistem telah rusak. Ekosistem apa saja yang harus kita jaga? Yakni;  Ekosistem yang berada didalam tubuh kita. Lahir dan batin, atau jiwa serta raga, yang merupakan alam kecil(mikro kosmos). Serta alam besar diluar tubuh kita, yang dikatakan dunia, dan alam semesta  (makro kosmos).
Kenapa hal ini harus dijaga? Sebab, semua itu diciptakan oleh Tuhan, dengan saling keterkaitan, dan penuh keseimbangan. antara yang satu dengan yang lainnya. Apabila ekosistem ini ada perubahan, maka yang terjadi, adalah bencana pada diri manusia. Karena, ekosistem sudah tidak memiliki sifat seperti asalnya. Contoh : adanya kejadian, atau bencana alam, yang sering menimpa akhir-akhir ini. Seperti tsunami, penyakit, gempa vulkanik, tektonik, kekeringan, kelaparan, pemerkosaan, bom bunuh diri, teroris dan sebagainya. Semua itu terjadi,  karena rusaknya ekosistem awal, yang diciptakan Tuhan untuk kita. Adapun yang menjadi permasalahan, mungkinkah kita bisa selalu menjaga ekosistem tersebut, tanpa mengenal Peta perjalanan Tuhan?
 Langkah awal yang perlu diketahui, adalah perjalanan Tuhan itu kemana, dan darimana? Lantas, dengan apa kita mengikuti? Sementara ini, kita tidak pernah tahu Tuhan, selain hanya sebatas kata-kata belaka, yang dibawa oleh para nenek moyang, dengan cara mengikuti saja, apa yang dikatakan, dan dikerjakan. Mungkin, apa yang dikatakan itu benar. Dan, mereka telah menemukan Tuhan, atau bahkan sebenarnya, mungkin juga sama seperti kita. Sama-sama belum pernah mengenal Tuhan, selain hanya mengikuti orang lain pula, yang memang telah bertemu TUHAN. Kalau kita hanya sekedar mengenal, dan mempercayai, bahwa seseorang itu telah bertemu Tuhan. Dan kita, hanyalah sekedar mendengar, dan mengikuti, pemahaman seperti apa yang dikatakan, dan diperintahkan, lewat mereka-mereka itu. Maka mungkin sampai meninggal, kita tidak akan pernah bertemu, dan mengenal Tuhan. Justru dengan demikian, itu sama halnya kalau Tuhan, hanya  disediakan bagi mereka saja. Dan, hal ini tentu amat antagonis sekali. Bahwa, sebagaimana yang mereka katakan sendiri, jika Tuhan itu, adalah untuk seluruh ummat manusia.
Permasalahan berikutnya adalah; pernahkah kita mencoba mencari Tuhan yang menjadi Pemimpin kita? Dimana, dan kearah mana, peta perjalanan Tuhan bersama kita? Dan “peta perjalanan” antara orang yang satu, dengan yang lain, diseluruh dunia ini tidaklah sama. Seperti adanya garis tangan, yang juga tidak sama satu sama lain. Berarti, tidak sama pula perjalanan Tuhan, pada masing-masing orang. Untuk menjawab hal ini adalah ; dengan cara bagaimana, bisa mempelajari tentang Tuhan secara benar. Bukan karena “kebenaran nisbi”, yang selama ini kita ikuti. Dan bahkan, telah pula dijadikan "dogmatis" oleh masing-masing penganut agama. Sehingga dengan demikian, bagi orang yang ingin mempelajari, amat takut sekali. Dan, bila suatu saat muncul pemikiran, dan perenungan, tentang Tuhan, hanya secara sembunyi-sembunyi. Atau, bahkan hanya tersimpan didalam hati belaka. Sebab, bila disebarkan cara pemikiran itu, lantas dimusuhi, dan dikucilkan. Yang lebih sadis, bisa dihukum, atau dibunuh. Dengan alasan, orang tersebut telah mencela, dan melecehkan agama dari nenek moyangnya. Menurut hemat saya, dengan cara mempelajari kitab-kitab ajaran agama, mestinya akan didapat pemikiran yang dinamis, sesuai dengan perkembangan jaman itu sendiri. Dan, bukan selalu dicocokkan, atau di-patut-patut-kan, padahal sudah tidak patut lagi. Serta, bukan berarti kita hendak mengganti firman-firman yang sudah ada, atau membuat firman-firman baru. Seperti yang kita dengar selama ini, mengaku nabi, mengaku malaikat, mengaku Tuhan, dan sebagainya. Bukan itu arah saya. Melainkan, adanya perobahan didalam pola pikir. Yakni, cara-cara berpikir yang sudah ada, serta cara-cara berpikir secara tradisional yang secara turun temurun dari para nenek moyang, yang lebih dahulu telah bertemu Tuhan. Khususnya, didalam memahami  karakter dan eksistensi Tuhan itu sendiri.
Jadi, didalam proses pemahaman tentang eksistensi Tuhan itu, tidaklah boleh meng-klaim, bahwa kita benar, dan mereka salah. Juga, tidak boleh pula disebarkan, agar orang lain menganut seperti kita. Yang terpenting, dari pemahaman itu sendiri, masing-masing orang, akan mendapatkan cahaya Tuhan sendiri-sendiri. Sesuai dengan batasan pemikiran yang dimilikinya. Cara berpikir apa yang harus kita lakukan? Yakni, cara pemikiran yang dinamis, bukan statis, dan pragmatis. Khususnya, didalam mengkaji, dan menafsirkan, segala ayat-ayat yang ada, sesuai dengan pemikiran kita masing-masing. Sehingga dengan demikian, pengenalan tentang Tuhan, akan semakin bisa diresapi, sesuai dengan ilmu, dan akal masing-masing penganutnya. Serta, akan benar-benar bisa dipakai sebagai petunjuk, dan pedoman didalam hidup. Tidak hanya sebatas adagium semu, dengan penerapan yang secara semu pula. Bila pola dasar pemikiran, dan pemahamannya salah, maka hasil akhirnya pasti juga akan salah.
Dengan mempelajari ajaran-ajaran itu, lewat perenungan, dan pemikiran sendiri, tanpa harus melalui orang lain, diharap akan mendapatkan ilmu-ilmu baru tentang kehidupan ini. Serta, selalu dinamis didalam penerapannya. Sepanjang tidak terlepas dari norma-norma dalam ajaran Agama. Juga, tidak pula melanggar harkat, serta martabat, sebagai bagian dari masyarakat, dimana mereka tinggal. Sehingga, akan menjadikan agama itu indah, dan tidak lagi menjadi momok untuk dipelajari. Disamping itu, pemahaman agama, dan eksistensi Tuhan secara sendiri-sendiri, adalah merupakan konsekuensi logis, yang harus kita jalani. Sebagaimana sekolah, maka mau tidak mau, kita harus pula mempelajari, apa yang didapat disekolah. Yang suatu saat, harus diujikan pada kita, sampai sejauh mana kita bisa meresapi pelajaran sekolah dimaksud. Dan, begitu pula dengan ilmu tentang eksistensi Tuhan. Kita juga harus mempelajari sendiri, karena ajaran tentang Tuhan, bentuknya adalah abstrak. Yang terpenting, adalah hasil akhir. Berupa sikap, dan perilaku, tutur bahasa, cara bertindak, dan memutuskan suatu masalah.Dengan agama, sifat menjadi baik dan luhur apa tidak. Juga, bisa memberikan keteduhan, dan ketentraman, pada orang lain, dan bukan agama-nya yang ditonjolkan. Melainkan, kepribadian kita, setelah ber-agama. Sehingga dengan demikian, agama tidak akan pula ikut-ikutan terkena imbas, menjadi bahan caci maki dari penganut agama lain. Akhirnya, satu sama lain, saling pula mencela, dan saling meng-klaim bahwa agama-nya yang benar. Padahal, semua itu benar dan salah, semata-mata tergantung, dari cara pemahaman ajaran itu yang salah, dan bukan agamanya yang salah.
Kembali pada masalah ujian, atau cobaan.  Disaat kita terkena masalah, atau cobaan, diharap dengan ber-agama, kita mampu untuk menyelesaikan. Antara lain berupa persoalan-persoalan hidup, dan kehidupan sehari-hari, yang bisa berwujud musibah, dan bencana. Baik secara perseorangan, maupun kelompok, dan global. Akan mampukah kita selesaikan dengan baik, sesuai dengan hasil pemahamannya? Ataukah akan gagal menghadapinya. Apabila kita selalu tidak mampu mengatasi permasalahan hidup, berarti sama halnya kalau kita sekolah, tetapi tidak pernah membaca, dan belajar. Lantas, bagaimana bisa mencerna, apa yang diberikan disekolah. Tentu sudah dapat dipastikan, kita tidak akan pernah lulus. Begitu juga halnya, dengan ilmu tentang Tuhan yang kita anut selama ini. Untuk apa ber-agama, bila ternyata tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah kehidupan jiwa, dan raga. Bahkan, akan lebih ironis sekali, bila ternyata orang yang ber-agama, namun lebih sengsara, bila dibandingkan dengan orang yang tidak ber-agama. Bahkan sepak terjangnya lebih jahat, dan mengerikan. Bila berhadapan dengan orang lain, dan punya kekuasaan, tindakannya amat keji. Apalagi, bila yang dihadapi bukan merupakan golongannya sendiri, bisa-bisa lebih brutal. Sepertinya, hanya mereka sendiri saja yang menguasai agama, dan peradabannya. Sementara orang lain, tidak diperkenankan untuk berpikir. Selain, hanya sebatas mengikuti saja, apa yang mereka katakan, dan mereka pikirkan. Mau, atau tidak mau, suka atau tidak suka.
 Dari gambaran-gambaran ini, saya mencoba untuk berpendapat beda. Dengan niatan yang baik, serta tanpa adanya maksud untuk menjungkir balikkan hal-hal yang sudah ada. Melainkan, hanya untuk sekedar saling memahami, dan merenungi. Tentang apa yang kita terima selama ini, sudah tidak murni lagi. Dibandingkan dengan asal mula diciptakan ajaran agama itu oleh Tuhan. Saya berpendapat;  bahwa kehidupan ber-agama, dan memiliki Tuhan yang benar, tidak demikian halnya. Yang terpenting, bisa membuktikan, perbedaan antara yang baik, dan yang buruk. Antara orang yang ber-agama, dengan yang tidak ber-agama. Orang yang kenal Tuhan, dengan yang tidak kenal Tuhan, antara orang yang sekolah, dan yang tidak. Semua sama, dimata Tuhan. Serta, tidak memandang, apapun strata sosialnya. Untuk itu, kalau boleh di-klasifikasi-kan tentang ilmu mengenal Tuhan adalah; Bila ilmu nyata/lahiriah, seperti sekolah, kuliah, kursus, dan sebagainya, semata-mata dipergunakan untuk mengisi akal, atau otak sebelah kiri. Sedangkan ilmu tentang eksistensi Tuhan, untuk mengisi, dan mendaya-gunakan otak kanan (sixth sense), supaya selalu berfungsi dengan baik. Atau, untuk melatih kepekaan insting. Sehingga dengan demikian, tidak akan ada lagi permasalahan yang tidak bisa diatasi dengan baik.
Disamping itu pula, kita akan selalu bisa menghadapi seluruh permasalahan yang ada.  Baik yang sudah terjadi, yang sedang timbul, atau yang dimungkinkan untuk terjadi, dan yang akan kita alami. Inilah yang dikatakan keseimbangan, didalam mengawali untuk mencari “Peta perjalanan Tuhan” itu. Sebab, kita diberi akal untuk berpikir, serta men-daya-guna-kan otak kanan, untuk merasakan kepekaan emosi (perasaan), namun yang dipakai hanyalah otak kiri, atau otak kanan saja.

Bersambung,.........



Tidak ada komentar:

Posting Komentar