Partner | KAENDRA Tour & MICE

Sabtu, 16 April 2011

MENCARI SEMIOTIKA (TANDA-TANDA) TUHAN

Lanjutan :

Yang dimaksud dengan mencari SEMIOTIKA atau tanda-tanda Tuhan, adalah dengan cara mencocokkan ekosistem mikro yang ada pada diri manusia, dengan ekosistem yang berada diluar tubuh (makro kosmos). Ini bertujuan, agar segala mata rantai kehidupan, sifat, kemampuan, dan kehendak yang dimiliki manusia, senantiasa berhubungan dengan segala apa yang ada diluar tubuh. Karena pada intinya, semua makhluk yang ada dimuka bumi, khususnya manusia, tercipta dari alam makro yang terdiri dari 5(lima) energi meliputi : unsur air(cairan), unsur api, unsur udara(oksigen), unsur tanah, dan unsur tumbuh-tumbuhan. Eksistensi lima unsur tersebut, amat dominan sekali. Bila salah satu unsur energi tidak ada, maka manusia tidak akan bisa hidup. Cepat, atau lambat, akan mati, karena tidak bisa menjalani kehidupannya dengan sempurna. Kedudukan lima unsur pada manusia ini, harus selalu dijaga, agar tetap seimbang, sebagaimana asal mula manusia diciptakan. Dan, ketidak seimbangan ini, akan membawa perobahan ekosistem yang ada didalam diri manusia. Bila ketidak seimbangan berlangsung dengan terus menerus, bahkan telah menjadi terstruktur secara masif, maka akan pula membawa kehancuran, pada dunia yang kita tempati ini.  


Manusia berasal  dari inti energi.  Apabila dunia hancur, maka alam makro juga akan hancur. Jadi, kerusakan ekosistem yang ada didalam diri manusia, akan mempengaruhi pula pada ekosistem yang ada dialam makro. Contohnya :  Didalam “budaya dan bahasa Jawa”, ke 5 unsur itu digambarkan sebagai hal yang amat penting sekali, bahkan, agak diagung-agungkan. Terbukti saat mengucapkan angka 1 sampai lima, ada istilah “basa krama”(bahasa untuk orang yang dihormati) yakni: "setunggal, kalih, tigo, skawan dan gangsal".( 1,2,3,4 dan 5) Sedang untuk angka enam, sampai Sembilan, ucapannya tetap : enem, pitu, wolu dan songo. Dan, baru pada angka 10 menjadi sedoso. Disamping itu, dalam “bahasa jawa” ada juga sebutan lain, dari energi yang telah merasuk kedalam ekosistem kita, yakni “dulur papat, limo pancer, dan "pandawa limo “ .
Kembali pada “istilah mencari semiotika (tanda-tanda) Tuhan, maksudnya adalah untuk membangun 2(dua) titik, atau tanda, antara mikro dan makro kosmos. Sehingga, manusia diseluruh dunia ini, apapun bahasa dan budaya, serta agamanya, selalu sama, dan beraturan. Bagaikan “gending (lagu)” jawa, yang selalu selaras, serasi, dan seimbang. Sejak dari anak kecil, hingga dewasa, orang biasa, sampai yang berpengetahuan tinggi. Dari yang tukang parkir, sampai menteri, dan presiden. Pasti semuanya sama. Seperti halnya kalau kita membaca notasi lagu, mulai dari “do”(angka 1) sampai “si “(angka 7), bunyi suara dan alunan nada diseluruh dunia juga akan sama. Dan, tidak mungkin orang Amerika untuk lambang notasi 5 dibunyikan five. Semuanya pasti “Sol”. Semua ini karena memang ada pedoman  yang sama pula, diseluruh dunia. Kalau dalam manusia raga (empirik) ada pedoman dasar, yang telah disepakati bersama-sama, baik secara naluri atau lewat pengajaran. Maka, demikian pula pedoman, terhadap hal-hal manusia batin/jiwa (non empirik. Hanya bedanya, kalau pedoman raga/empirik, adalah lewat pengajaran dari orang lain. Tetapi, tidak demikian, terhadap ajaran secara batin/non empirik ini. Maka pengajarnya, juga bersifat batin/non empirik pula. Jadi, didalam pencarian hal-hal yang bersifat batin ini, kita harus mencari guru dari dalam diri manusia sendiri bukan dari luar tubuh manusia. Sehingga, didalam ajaran Islam ditulis “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai Pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. “  (surat 7 ayat 3).
Dengan demikian, amat jelas bagi kita. Bahwa, tujuan untuk mencari pemimpin batin/non empirik ini, adalah semata-mata untuk menyatukan kehendak, didalam menjaga ekosistem yang ada didalam diri manusia. Kalau direnungkan bersama-sama, bisakah kita menjaga ekosistem dalam diri sendiri, tetapi ajaran, atau anjurannya dari luar tubuh kita? Apalagi, bila ajaran itu dipaksakan agar kita mau mengikuti. Sedang yang diajarkan, adalah segala hal  yang bersifat batin/non empiric. Padahal, kita sendiri yang mengalami bukan orang lain. Seperti di saat kita sakit, bisakah orang lain merasakan, seberapa besar sakit kita. Begitu pula disaat kita mengalami kesusahan, dan penderitaan. Apabila orang ikut merasakan, itu hanyalah sebatas menerka-nerka dari pengalamannya sendiri, disaat merasakan sakit. Atau, dari penjelasan kita, kalau kita sedang mengalami sakit dan susah . Bukankah kita, dan mereka sama-sama mempunyai Jiwa yang berbeda antara satu sama lain? Jadi, kita masing-masing, harus mencari sendiri siapa pemimpin kita, yang dikatakan sebagai “Tuhan”, yang benar-benar Tuhan itu sendiri  (Allah bhs Arab).
Inilah sebenarnya, yang kami katakan sebagai mencari semiotika (tanda-tanda) Tuhan. Apabila sudah ketemu dengan tanda-tanda abstrak tentang eksistensi Tuhan, khususnya didalam memahami dzat Tuhan, bisa ditarik linier antara Tuhan dan takdir kita sebagai manusia. Dengan begitu, kita akan bisa menyesuaikan, antara kehendak dari mikro kosmos, dan kehendak makro kosmos. Dan akan senantiasa seimbang, mulai dari awal, sampai akhir hayat manusia dimuka bumi ini. Dengan keseimbangan yang telah dicapai ini, secara otomatis, bisa  membawa keseimbangan juga, pada tata kelola kehidupan masing-masing orang. Dan, selalu bisa merasakan bahagia, dan tidak akan pernah tersesat. Serta, tidak pula  membuat kehidupan kita hancur, penuh kesusahan, dan penderitaan selamanya.
Bagaimana caranya menyesuaikan semiotika, antara didalam tubuh dan diluar tubuh? Jawabnya adalah, dengan mengetahui tentang seberapa besar energi-energi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.  Baik yang bersifat raga/empirik, atau yang bersifat batin/jiwa.
Namun yang harus diutamakan, adalah dengan melihat apa yang menjadi kebutuhan manusia batin/jiwa. Sebabnya adalah, karena setiap saat, dan terus menerus tanpa terhenti, manusia selalu menghirup, dan mengeluarkan nafas (oksigen) dari alam makro. Baik disaat dalam keadaan terbangun, maupun disaat tertidur. Disadari, maupun tidak, oksigen yang kita hirup, tidak hanya kita sendiri saja yang menggunakan. Melainkan, juga dihirup semua makhluk diseluruh dunia, sehingga sedikit banyak, akan ikut merasakan pula, apabila terjadi suatu kontaminasi dalam alam makro. Baik kontaminasi yang bersifat lahir, maupun batin. Jadi,  kenapa  pada masyarakat dan agama tertentu, membutuhkan “Samadhi” atau meditasi. Hal ini, semata-mata agar  kita selalu dalam keadaan sadar secara penuh. Khususnya, didalam memasukkan unsur/energi yang masuk kedalam tubuh. Tanpa suatu kesadaran, semua unsur yang  masuk tidak terbatas jumlahnya. Padahal unsur-unsur itu, belum tentu menjadi kebutuhan kita. Dengan samadhi atau meditasi, kita bisa selalu menimbang dan menghitung, kira-kira jenis energi apa yang kita butuhkan. Seberapa banyak kita mempergunakan, dan untuk kepentingan apa energi itu diambil. Juga, seberapa lama kita akan memasukkan energi tersebut. Kesemuanya itu, adalah tergantung dari apa yang menjadi keinginan kita. Dan juga harus pula dipertimbangkan, apakah hal itu untuk kebutuhan raga, yang berupa kekayaan dan jabatan, serta kekuasaan. Ataukah untuk kebutuhan batin. Setelah itu, barulah kita bisa memulai, untuk secara sadar, menghirup “udara murni( oksigen) dari alam makro. Selanjutnya, kita mencoba merasakan keluar  dan masuknya udara, tanpa harus kita hitung, berapa waktu yang dibutuhkan. Sebab, nanti ada isyarat tersendiri, dan akan berhenti secara otomatis, bila ternyata energi yang kita butuhkan, terasa sudah mencukupi sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu, kita mengangankan didalam hati, apakah  yang menjadi kebutuhan, dan kita fokuskan pada pikiran, sekaligus menentukan waktunya, kapan keinginan itu bisa terwujud. Serta, segala alasan yang  mendukung, kenapa keinginan itu harus diwujudkan.  Inilah sebenarnya,  yang  saya maksudkan dengan mencari dan membangun semiotika, untuk dijadikan  suatu energi untuk memenuhi kebutuhan tubuh, didalam menunjang hidup, dan kehidupan kita sehari-harinya.

Bersambung..........


Tidak ada komentar:

Posting Komentar